SINDROM EKSTRAPIRAMIDAL
Diajukan untuk memenuhi syarat Kepaniteran Klinik
Senior SMF Ilmu Kedokteran Jiwa
RSUD Embung Fatimah
SILVIA CHRISTIANI
Pembimbing
:
dr. Laila Sylvia, Sp.K.J.
dr. Lenni C. Sihite
DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI BANDAR
LAMPUNG
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH EMBUNG FATIMAH BATAM
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Kerjasama yang terpadu antara sistem piramidal dan
sistem ekstrapiramidal diperlukan dalam fungsi motorik yang sempurna pada otot
rangka, keduanya mempunyai andil besar dalam gerakan yang terjadi pada tubuh,
meskipun demikian keduanya memiliki fungsi yang berbeda dalam menghasilkan
gerakan.
Sistem piramidal berperan dalam gerakan volunter,
yaitu gerakan sadar yang harus dilakukan, sedangkan sistem ekstrapiramidal
menentukan landasan untuk dapat terlaksananya suatu gerakan volunter yang
terampil dan mahir.
Sistem Piramidal
Sistem piramidal merupakan jalur desending yang
terdiri dari serabut yang berasal dari korteks motorik pada otak yang kemudian
disalurkan ke batang otak dan turun ke spinal cord.
Mekanisme kerja sistem piramidal
Mekanisme kerja sistem piramidal diawali pada korteks
motorik, impuls gerakan yang diinginkan di teruskan menuju bagian posterior
kapsula interna,kapsula interna meneruskan impuls kepada medula oblongata,
setelah mencapai medulla oblongata impuls diteruskan menuju medula spinalis
substansi kelabu, yaitu bagian integral dari neuron motorik, respon kembali
diteruskan menuju ujung-ujung akson yaitu efektor hingga akhirnya menjadi suatu
gerakan yang sadar.
Traktus piramidal dibagi 2:
·
Traktus
piramidal (kortikospinal) lateral
Neuron dari motorik korteks serebral.
Akson akan berdescenden ke medulla . Diperbatasan antara medulla oblongata dan medulla spinalis, 85% serabut
kortikospinal akan berdekusasi dan terus memanjang sampai tanduk
posterior untuk bersinapsis langsung atau melalui interneuron dengan neuron
motorik bawah dalam tanduk anterior. Akson akan berterminasi pada lempeng ujung
motorik otot rangka.
·
Traktus
piramidal (kortikospinal) ventral /
anterior
Neuron dari motorik korteks serebral.
Akson akan berdescenden ke medulla . Diperbatasan
antara medulla oblongata dan medulla spinalis, 15% serabut kortikospinal akan menyilang, lalu secara langsung
atau melalui interneuron dengan neuron motorik bawah dalam tanduk anterior.
Akson akan berterminasi pada lempeng ujung motorik otot rangka.
Fungsi sistem piramidal adalah:
1. Memulai timbulnya suatu gerakan volunteer atau
suatu gerak sadar yang bersifat halus.
2. Kontraksi otot distal, khususnya pada tangan dan
jari.
Sistem ekstrapiramidal
Sistem ekstrapiramidal meupakan jalur antara corteks
serebal, basal ganglia, batang otak, spinal cord yang keluar dari traktus
piramidal.
Traktus ekstrapirimidal dibagi menjadi:
·
Traktus
retikulospinal, dari
formasio reticular dan berujung pada sisi yang sama di neuron motorik bagian
bawah dalam tanduk anterior medulla spinalis.
·
Traktus
vestibulospinal lateral,
dari nucleus vestibular lateral dan berujung pada sisi yang sama di neuron
motorik bagian bawah dalam tanduk anterior medulla spinalis.
·
Traktus
vestibulospinal medial,
dari nucleus vestibular lateral dan berujung pada sisi yang sama di neuron
motorik bagian bawah dalam tanduk anterior medulla spinalis. Tanduk ini tidak
berdescenden ke bawah area serviks.
·
Traktus
rubrospinal, dari
nucleus merah otak tengah, traktus olivispinal dari olive inferior medulla,
traktus tektospinal dari tektum otak tengah.
Fungsi sistem ekstrapiramidal untuk :
1. mempertahankan tonus otot
2. gerakan kasar.
3. Perencanaan suatu gerakan
Sindrom
ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan
oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi antipsikotik golongan
tipikal. Obat antipsikotik tipikal yang paling sering memberikan efek samping
gejala ekstrapiramidal yakni Haloperidol, Trifluoperazine, Pherpenazine,
Fluphenazine, dan dapat pula oleh Chlorpromazine. Gejala bermanifestasikan
sebagai gerakan otot skelet, spasme atau rigiditas, tetapi gejala-gejala
tersebut di luar kendali traktus kortikospinal (piramidal).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Sindrom
ekstrapiramidal adalah suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan oleh
penggunaan jangka pendek atau jangka panjang dari medikasi antipsikotik
golongan tipikal karena terjadinya inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia
basalis. Adanya gangguan transmisi di korpus striatum yang mengandung banyak
reseptor D1 dan D2 dopamin menyebabkan depresi fungsi motorik sehingga
bermanifestasi sebagai sindrom ekstrapiramidal.
Gejala
ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi distonia,
tardive dyskinesia, akatisia, dan Sindrom Parkinson. Namun ada beberapa sumber
menyebutkan bahwa Sindrom Neuroleptik Maligna juga masuk ke dalam gangguan
ekstrapiramidal.
B. EPIDEMIOLOGI
Reaksi distonia
akut terjadi pada kira-kira 10% pasien, biasanya pada pria muda, terutama yang
mendapat pengobatan dengan neuroleptik haloperidol dan flufenarizin.
Tardive
dyskinesia terjadi pada sekitar 20-30% pasien yang telah menggunakan
antipsikotik tipikal dalam kurun waktu 6 bulan atau lebih. Tetapi sebagian
besar kasus sangat ringan. Hanya 5% pasien yang memperlihatkan gejala nyata.
Akatisia
merupakan gejala EPS yang paling sring terjadi. Kemungkinan besar terjadi pada
pasien dengan medikasi neuroleptik. Umumnya pada pasien muda.
Sindrom
parkinson lebih sering pada dewasa muda, dengan perbandingan
perempuan:laki-laki = 2:1.
Sindrom
Neuroleptic Maligna sangat jarang dijumpai.
C. ETIOLOGI
Sindrom ekstrapiramidal terjadi akibat pemberian obat antipsikotik baik dalam jangka waktu singkat atau lama yang menyebabkan adanya gangguan keseimbangan antara transmisi asetilkolin dan dopamine pusat. Obat antispikotik dengan efek samping gejala ekstrapiramidalnya sebagai berikut:
Obat-Obat
Antipsikotik dan Efek Samping Gejala Ekstrapiramidalnya
Antipsikosis Dosis (mg/hr) Gejala Ekstrapiramidal
Chlorpromazine 150-1600 ++
Thioridazine 100-900 +
Perphenazine 8-48 +++
Trifluoperazine 5-60 +++
Fluphenazine 5-60 +++
Haloperidol 2-100 ++++
Pimozide 2-6 ++
Clozapine 25-100 -
Zotepine 75-100 +
Sulpride 200-1600 +
Risperidon 2-9 +
Quetapine 50-400 +
Olanzapine 10-20 +
Aripiprazole 10-20 +
Beberapa hal
lain yang mempengaruhi kerja ekstrapiramidal:
·
Ketidakseimbangan degeneratif
·
Ketidakseimbangan metabolik
·
Ketidakseimbangan sistem endokrin dan eksokrin
·
Inflamasi
·
Racun
·
Tumor atau SOL
·
Anoxia
D. PATOFISIOLOGI
Umumnya semua
neuroleptik menyebabkan beberapa derajat disfungsi ekstrapiramidal Beberapa
neuroleptik menginhibisi transmisi
dopaminergik di ganglia basalis. Penggunaan beberapa neuroleptik tersebut menyebabkan
gangguan transmisi di korpus striatum yang mengandung banyak reseptor D1 dan D2
dopamin sehingga menyebabkan depresi fungsi motorik yang bermanifestasi sebagai
sindrom ekstrapiramidal. Beberapa neuroleptik tipikal (seperti haloperidol,
fluphenazine) merupakan inhibitor dopamin ganglia basalis yang lebih poten, dan
sebagai akibatnya menyebabka efek samping gejala ekstrapiramidal yang lebih
menonjol.
E. MANIFESTASI KLINIS
Gejala ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi distonia, tardive dyskinesia, akatisia, dan Sindrom Parkinson. 2 Namun ada beberapa sumber menyebutkan bahwa Sindrom Neuroleptik Maligna juga masuk ke dalam gangguan ekstrapiramidal.
§ Reaksi Distonia
Merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot skelet yang timbul beberapa menit dan dapat pula berlangsung lama, biasanya menyebabkan gerakan atau postur yang abnormal.
Kelompok otot
yang paling sering terlibat adalah otot wajah, otot rahang (trismus, gaping,
grimacing), leher (torticolis dan retrocolis), lidah (protrusion, memuntir) ,
seluruh otot tubuh (opistotonus) atau otot ekstraokuler (krisis okulogirik).
Distonia juga dapat terjadi pada
glosofaringeal yang menyebabkan disartria, disfagia, kesulitan bernafas
hingga sianosis bahkan kematian. Distonia juga dapat terjadi pada otot diafragmatik yang membantu pernapasan
sehingga sulit bernafas hingga sianosis bahkan kematian..
Spasme otot dan
postur yang abnormal, umumnya yang dipengaruhi adalah otot-otot di daerah
kepala dan leher tetapi terkadang juga daerah batang tubuh dan ekstremitas
bawah.
Reaksi distonia
akut sering terjadi dalam satu atau dua hari setelah pengobatan dimulai, tetapi
dapat terjadi kapan saja.
Kriteria diagnostik dan riset untuk distonia akut akibat neuroleptik menurut DSM-IV adalah sebagai berikut:
1 Posisi abnormal atau spasme otot
kepala, leher, anggota gerak, atau batang tubuh yang berkembang dalam beberapa
hari setelah memulai atau menaikkan dosis medikasi neuroleptik (atau setelah
menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati gejala ekstrapiramidal).
a. Satu (atau
lebih) tanda atau gejala berikut yang berkembang berhubungan dengan medikasi
neuroleptik:
1. Posisi abnormal kepala dan leher dalam hubungannya dengan tubuh (misalnya tortikolis)
2. Spasme otot rahang (trismus, menganga, seringai)
3. Gangguan menelan (disfagia), bicara, atau bernafas (spasme laring-faring, disfonia)
4. Penebalan atau bicara cadel karena lidah hipertonik atau membesar (disartria, makroglosia)
5. Penonjolan lidah atau disfungsi lidah
6. Mata deviasi ke atas, ke bawah, ke arah samping (krisis okulorigik)
7. Posisi abnormal anggota gerak distal atau batang tubuh.
1. Posisi abnormal kepala dan leher dalam hubungannya dengan tubuh (misalnya tortikolis)
2. Spasme otot rahang (trismus, menganga, seringai)
3. Gangguan menelan (disfagia), bicara, atau bernafas (spasme laring-faring, disfonia)
4. Penebalan atau bicara cadel karena lidah hipertonik atau membesar (disartria, makroglosia)
5. Penonjolan lidah atau disfungsi lidah
6. Mata deviasi ke atas, ke bawah, ke arah samping (krisis okulorigik)
7. Posisi abnormal anggota gerak distal atau batang tubuh.
b. Tanda atau gejala dalam kriteria A berkembang dalam tujuh hari setelah memulai atau dengan cepat menaikkan dosis medikasi neuroleptik, atau menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati (atau mencegah) gejala ekstrapiramidal akut (misalnya obat antikolinergik).
c. Gejala dalam kriteria A tidak diterangkan lebih baik oleh gangguan mental (misalnya gejala katatonik pada skizofrenia). Tanda-tanda bahwa gejala lebih baik diterangkan oleh gangguan mental dapat berupa berikut : gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik atau tidak sesuai dengan pola intervensi farmakologis (misalnya tidak ada perbaikan setelah menurunkan neuroleptik atau pemberian antikolinergik).
d. Gejala dalam kriteria A bukan karena zat nonneuroleptik atau kondisi neurologis atau medis umum. Tanda-tanda bahwa gejala adalah karena kondisi medis umum dapat berupa berikut : gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik, terdapat tanda neurologis fokal yang tidak dapat diterangkan, atau gejala berkembang tanpa adanya perubahan medikasi.
§ Akatisia
Manifestasi berupa keadaan subjektif kegelisahan (restlessness) yang panjang,, gugup atau suatu keinginan untuk tetap bergerak umumnya kaki yang tidak bisa tenang, atau rasa gatal pada otot. Penderita dengan akatisia berat tidak mampu untuk duduk tenang, perasaannya menjadi cemas atau iritabel, agitasi, dan pemacuan yang nyata. Akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik yang memburuk akibat perasaan tidak nyaman yang ekstrim.
§ Sindrom Parkinson
Faktor risiko antipsikotik menginduksi parkinson adalah peningkatan usia, dosis obat, riwayat parkinson sebelumnya, dan kerusakan ganglia basalis.
Terdiri dari akinesia, tremor, dan bradikinesia. Akinesia meliputi wajah topeng, jedaan dari gerakan spontan, penurunan ayunan lengan saat berjalan, penurunan kedipan, dan penurunan mengunyah yang dapat menimbulkan pengeluaran air liur. Pada suatu bentuk yang lebih ringan, akinesia hanya terbukti sebagai suatu status perilaku dengan jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan kesukaran untuk memulai aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala skizofrenia negatif. Tremor dapat ditemukan pada saat istirahat dan dapat pula mengenai rahang. Gaya berjalan dengan langkah kecil dan menyeret kaki diakibatkan karena kekakuan otot.
§ Tardive Dyskinesia
Disebabkan oleh defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif reseptor dopamin di puntamen kaudatus. Merupakan manifestasi gerakan otot abnormal, involunter, menghentak, balistik, atau seperti tik mempengaruhi gaya berjalan, berbicara, bernafas, dan makan pasien dan kadang mengganggu. Faktor predisposisi dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan pengobatan berdosis tinggi atau jangka panjang. Gejala hilang dengan tidur, dapat hilang timbul dengan berjalannya waktu dan umumnya memburuk dengan penarikan neuroleptik. Diagnosis banding jika dipertimbangkan diskinesia tardive meliputi penyakit Hutington, Khorea Sindenham, diskinesia spontan, tik dan diskinesia yang ditimbulkan obat seperti Levodova, stimulant, dan lain-lain.
Gambar 2.
Gerakan Involunter pada Tardive Dyskinesia
Perlu dicatat bahwa tardive diskinesia yang diduga disebabkan oleh kesupersensitivitasan reseptor dopamin pasca sinaptik akibat blockade kronik dapat ditemukan bersama dengan sindrom parkinson yang diduga disebabkan karena aktifitas dopaminergik yang tidak mencukupi. Pengenalan awal perlu karena kasus lanjut sulit diobati. Banyak terapi yang diajukan tetapi evaluasinya sulit karena perjalanan penyakit sangat beragam dan kadang-kadang terbatas. Diskinesia tardive dini atau ringan mudah terlewatkan dan beberapa merasa bahwa evaluasi sistemik, Skala Gerakan Involunter Abnormal (AIMS) harus dicatat setiap enam bulan untuk pasien yang mendapatkan pengobatan neuroleptik jangka panjang.
F. DIAGNOSIS
Diagnosa awal
dilakkan dengan anamnesa pasien. Pemeriksaan yang dapat dilakukan di antaranya adalah pemeriksaan fisik
pada umumnya yaitu tanda – tanda vital dan kondisi fisik seluruhnya. Dapat
ditambah pemeriksaan neurologis.
Pemeriksaan laboratorium tergantung pada tampilan
klinis. Pemeriksaan rutin elektrolit, pemeriksaan potassium, asam urat, keratin kinase-MM , nitrogen dan urea darah, kreatinin darah, glukosa darah,
mioglobin dan bikarbonat bermanfaat
dalam menilai status hidrasi, fungsi ginjal, status asam basa, kerusakan otot dan
hipoglikemi .
G. DIAGNOSIS BANDING
·
Sindroma
putus obat
·
Parkinson
Disease
·
Distonia
primer
·
Tetanus
·
Gangguan
gerak ekstrapiramidal primer
·
Penyakit Huntington,
·
Chorea Syndenham
·
Anxietas
·
gejala psikotik yang memburuk
H. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan umum untuk sindrom ekstrapiramidal yakni :
Non-farmakologis
:
·
Menurunkan dosis antipsikotik
hingga mencapai dosis minimal yang efektif
Farmakologis
·
Pada pasien > 60 tahun diberikan
L-dopa .Pemberian L-dopa 3-4x 1 hari
dengan total dosis maksimal 600 mg/ hari diberikan 30 menit sebelum makan,
contoh madopar, sinemet.
·
Pada pasien muda diberikan da
(dopamine antagonist)
Pemberian dopamine agonist , dibagi menjadi ergot da dan non-ergot
da
Contoh ergot da:
ü
Bromocriptin dimulai dengan
dosis 1,25 mg ditingkatkan sampai total maksimal 40mg/ hari terbagi dalam 3-5
dosis.
ü
pergolide mesylate dimulai dari
0,05 mg 0,05 mg tiap 4-7 hari sampai 2-4 mg / hari untuk 3x beri
ü
Piribedil 50 mg terbagi 5x/ hari
ü
Cabergoline , dostinex 0,5 mg
setiap 2 hari
Contoh Non-ergot da
ü
Pramipexole, sifrol 1 mg
dimulai dari 0,125 mg. Dosis umumnya 3-4,5 mg / hari
ü
Ropinirole, requip 2 mg,
dimulai dari 0,25 mg. Dosis umumnya 3-9 mg/ hari
·
Pemberian antihistamin seperti
difenhidramine, sulfas atropine
·
Pemberian antikolinergik
seperti :
·
trihexyphenidil ((THP), 4-6mg
per hari selama 4-6 minggu. Setelah itu dosis diturunkan secara perlahan-lahan,
yaitu 2 mg setiap minggu, untuk melihat apakah pasien telah mengembangkan suatu
toleransi terhadap efek samping sindrom ekstrapiramidal ini.
·
n-Methyl-D-Aspartate Receptor
Inhibitor: amantadine dimulai dari 100 mg. Dosis umumnya 300-400 mg/ hari
terbagi dalam 3-4 dosis
·
enzyme inhibitor: Monoamine
Oxidase Type B inhibitor MAO –B contoh
selegiline, selegos 5 mg, rasagiline sebagai neuroprotektor.
·
COMT –I (Cathechol o Methyl
Transferase Inhibitors) : entacapone, comtan 200mg dosis maksimal 1600 mg,
tolcapone untuk menurunkan degradasi dopamine otak dan meningkatkan efek L-dopa.
·
Pemberian epinefrin dan
norepinefrin juga memberikan efek menurunkan konsentrasi antipsikotik dalam
plasma sehingga absorbsi reseptor dopamin berkurang dan efek gejala
ekstrapiramidal dari antipsikotik dapat berkurang.
·
Bila reaksi distonia akut berat
harus mendapatkan penanganan cepat dan agresif. Umumnya lebih praktis untuk
memberikan difenhidramin 50 mg IM atau bila obat ini tidak tersedia gunakan
benztropin 2 mg IM.
·
Penatalaksanaan akatisia dengan
memberikan anti kolinergik dan amanditin, dan pemberian proanolol dan
benzodiazepine seperti klonazepam dan lorazepam.
I. PROGNOSIS
Prognosis pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang akut akan lebih baik bila gejala langsung dikenali dan ditanggulangi. Sedangkan prognosis pada pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang kronik lebih buruk, pasien dengan tardive distonia hingga distonia laring dapat menyebabkan kematian bila tidak diatasi dengan cepat. Sekali terkena, kondisi ini biasanya menetap pada pasien yang mendapat pengobatan neuroleptik selama lebih dari 10 tahun.
K. KOMPLIKASI
Gangguan gerak yang dialami penderita akan sangat mengganggu sehingga menurunkan kualitas penderita dalam beraktivitas dan gangguan gerak saat berjalan dapat menyebabkan penderita terjatuh dan mengalami fraktur.
Pada distonia
laring dapat menyebabkan asfiksia dan kematian.
Medikasi
anti-EPS mempunyai efek sampingnya sendiri yang dapat menyebabkan komplikasi
yang buruk. Anti kolinergik umumnya menyebabkan mulut kering, penglihatan
kabur, gangguan ingatan, konstipasi dan retensi urine. Amantadine dapat
mengeksaserbasi gejala psikotik.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Sindrom
ekstrapiramidal adalah suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan oleh
penggunaan jangka pendek atau jangka panjang dari medikasi antipsikotik
golongan tipikal karena terjadinya inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia
basalis.
Gejala
ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi distonia,
tardive dyskinesia, akatisia, dan Sindrom Parkinson. Namun ada beberapa sumber
menyebutkan bahwa Sindrom Neuroleptik Maligna juga masuk ke dalam gangguan
ekstrapiramidal.
Reaksi distonia
merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot skelet yang
timbul beberapa menit dan dapat pula berlangsung lama, biasanya menyebabkan
gerakan atau postur yang abnormal.
Akatisia
merupakan keadaan subjektif kegelisahan (restlessness) yang panjang,, gugup
atau suatu keinginan untuk tetap bergerak umumnya kaki yang tidak bisa tenang,
atau rasa gatal pada otot.
Sindrom Parkinson
merupakan kumpulan tanda – tanda berupa akinesia, tremor, dan bradikinesia.
Tardive
dyskinesia merupakan manifestasi gerakan otot abnormal, involunter, menghentak,
balistik, atau seperti tik mempengaruhi gaya berjalan, berbicara, bernafas, dan
makan pasien dan kadang mengganggu.
Diagnosis awal
dilakukan dengan anamnesa pasien. Pemeriksaan yang dapat dilakukan di antaranya adalah pemeriksaan fisik
pada umumnya yaitu tanda – tanda vital dan kondisi fisik seluruhnya. Dapat
ditambah pemeriksaan neurologis.
Pemeriksaan laboratorium tergantung pada tampilan
klinis. Pemeriksaan rutin elektrolit, pemeriksaan potassium, asam urat, keratin kinase-MM , nitrogendan urea darah, kreatinin darah, glukosa darah,
mioglobin dan bikarbonat bermanfaat
dalam menilai status hidrasi, fungsi ginjal, status asam basa, kerusakan otot .
Diagnosis
banding : sindrom putus
obat, parkinson disease, distonia primer, tetanus, gangguan gerak
ekstrapiramidal primer, penyakit huntington, chorea
syndenham, anxietas, dan gejala psikotik yang memburuk.
Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan
sehingga dianjurkan memberikan terapi profilaktik. Sindrom ekstrapiramidal
ditangani dengan mulai menurunkan dosis antipsikotik, kemudian dilanjutkan
dengan pemberian obat – obat seperti :L-dopa , dopamine antagonist,
antihistamin, antikolinergik, n-Methyl-D-Aspartate Receptor Inhibitor, enzyme
inhibitor : Monoamine Oxidase Type B inhibitor MAO – B, COMT –I (Cathechol o
Methyl Transferase Inhibitors) , epinefrin atau norepinefrin .
Pengenalan gejala dengan cepat dan penatalaksanaan yang baik dapat memperbaiki prognosis. Namun penangan yang terlambat dapat memberikan komplikasi mulai dari gejala yang irreversibel hingga kematian
B. Saran
Pengenalan
gejala dengan cepat dan penatalaksanaan yang baik dapat memperbaiki prognosis.
Namun penanganan yang terlambat dapat memberikan komplikasi mulai dari gejala
yang irreversibel hingga kematian
1 comment:
mbak, boleh tau mbak ngambil referensi dari buku apa tentang ekstrapiramidal..... makasih mbak
Post a Comment