Sunday, May 5, 2013

Jiwa



SINDROM EKSTRAPIRAMIDAL
Diajukan untuk memenuhi syarat Kepaniteran Klinik Senior SMF Ilmu Kedokteran  Jiwa 
RSUD Embung Fatimah
 



                             Disusun oleh : 
                 SILVIA CHRISTIANI


Pembimbing :
dr. Laila Sylvia, Sp.K.J.
dr. Lenni C. Sihite



DEPARTEMEN ILMU KEDOKTERAN JIWA
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI BANDAR LAMPUNG
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH EMBUNG FATIMAH BATAM 
2012


BAB I
PENDAHULUAN


Kerjasama yang terpadu antara sistem piramidal dan sistem ekstrapiramidal diperlukan dalam fungsi motorik yang sempurna pada otot rangka, keduanya mempunyai andil besar dalam gerakan yang terjadi pada tubuh, meskipun demikian keduanya memiliki fungsi yang berbeda dalam menghasilkan gerakan.

Sistem piramidal berperan dalam gerakan volunter, yaitu gerakan sadar yang harus dilakukan, sedangkan sistem ekstrapiramidal menentukan landasan untuk dapat terlaksananya suatu gerakan volunter yang terampil dan mahir.

Sistem Piramidal
Sistem piramidal merupakan jalur desending yang terdiri dari serabut yang berasal dari korteks motorik pada otak yang kemudian disalurkan ke batang otak dan turun ke spinal cord.

Mekanisme kerja sistem piramidal
Mekanisme kerja sistem piramidal diawali pada korteks motorik, impuls gerakan yang diinginkan di teruskan menuju bagian posterior kapsula interna,kapsula interna meneruskan impuls kepada medula oblongata, setelah mencapai medulla oblongata impuls diteruskan menuju medula spinalis substansi kelabu, yaitu bagian integral dari neuron motorik, respon kembali diteruskan menuju ujung-ujung akson yaitu efektor hingga akhirnya menjadi suatu gerakan yang sadar.

Traktus piramidal dibagi 2:
·         Traktus piramidal (kortikospinal) lateral
Neuron dari motorik korteks serebral. Akson akan berdescenden ke medulla  . Diperbatasan antara medulla oblongata dan medulla spinalis, 85% serabut kortikospinal akan berdekusasi dan terus memanjang sampai tanduk posterior untuk bersinapsis langsung atau melalui interneuron dengan neuron motorik bawah dalam tanduk anterior. Akson akan berterminasi pada lempeng ujung motorik otot rangka.
·         Traktus piramidal  (kortikospinal) ventral / anterior
Neuron dari motorik korteks serebral. Akson akan berdescenden ke medulla . Diperbatasan antara medulla oblongata dan medulla spinalis, 15% serabut kortikospinal akan menyilang, lalu secara langsung atau melalui interneuron dengan neuron motorik bawah dalam tanduk anterior. Akson akan berterminasi pada lempeng ujung motorik otot rangka.

Fungsi sistem piramidal adalah:
1. Memulai timbulnya suatu gerakan volunteer atau suatu gerak sadar yang bersifat halus.
2. Kontraksi otot distal, khususnya pada tangan dan jari.

Sistem ekstrapiramidal
Sistem ekstrapiramidal meupakan jalur antara corteks serebal, basal ganglia, batang otak, spinal cord yang keluar dari traktus piramidal.

Traktus ekstrapirimidal dibagi menjadi:
·         Traktus retikulospinal, dari formasio reticular dan berujung pada sisi yang sama di neuron motorik bagian bawah dalam tanduk anterior medulla spinalis.
·         Traktus vestibulospinal lateral, dari nucleus vestibular lateral dan berujung pada sisi yang sama di neuron motorik bagian bawah dalam tanduk anterior medulla spinalis.
·         Traktus vestibulospinal medial, dari nucleus vestibular lateral dan berujung pada sisi yang sama di neuron motorik bagian bawah dalam tanduk anterior medulla spinalis. Tanduk ini tidak berdescenden  ke bawah area serviks.
·         Traktus rubrospinal, dari nucleus merah otak tengah, traktus olivispinal dari olive inferior medulla, traktus tektospinal dari tektum otak tengah.

Fungsi sistem ekstrapiramidal untuk :
1. mempertahankan tonus otot
2. gerakan kasar.
3. Perencanaan suatu gerakan

Sindrom ekstrapiramidal (EPS) mengacu pada suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau panjang dari medikasi antipsikotik golongan tipikal. Obat antipsikotik tipikal yang paling sering memberikan efek samping gejala ekstrapiramidal yakni Haloperidol, Trifluoperazine, Pherpenazine, Fluphenazine, dan dapat pula oleh Chlorpromazine. Gejala bermanifestasikan sebagai gerakan otot skelet, spasme atau rigiditas, tetapi gejala-gejala tersebut di luar kendali traktus kortikospinal (piramidal).


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA


A. DEFINISI

Sindrom ekstrapiramidal adalah suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau jangka panjang dari medikasi antipsikotik golongan tipikal karena terjadinya inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Adanya gangguan transmisi di korpus striatum yang mengandung banyak reseptor D1 dan D2 dopamin menyebabkan depresi fungsi motorik sehingga bermanifestasi sebagai sindrom ekstrapiramidal.

Gejala ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi distonia, tardive dyskinesia, akatisia, dan Sindrom Parkinson. Namun ada beberapa sumber menyebutkan bahwa Sindrom Neuroleptik Maligna juga masuk ke dalam gangguan ekstrapiramidal.

B. EPIDEMIOLOGI

Reaksi distonia akut terjadi pada kira-kira 10% pasien, biasanya pada pria muda, terutama yang mendapat pengobatan dengan neuroleptik haloperidol dan flufenarizin.
Tardive dyskinesia terjadi pada sekitar 20-30% pasien yang telah menggunakan antipsikotik tipikal dalam kurun waktu 6 bulan atau lebih. Tetapi sebagian besar kasus sangat ringan. Hanya 5% pasien yang memperlihatkan gejala nyata.
Akatisia merupakan gejala EPS yang paling sring terjadi. Kemungkinan besar terjadi pada pasien dengan medikasi neuroleptik. Umumnya pada pasien muda.
Sindrom parkinson lebih sering pada dewasa muda, dengan perbandingan perempuan:laki-laki = 2:1.
Sindrom Neuroleptic Maligna sangat jarang dijumpai.

C. ETIOLOGI

Sindrom ekstrapiramidal terjadi akibat pemberian obat antipsikotik baik dalam jangka waktu singkat atau lama yang menyebabkan adanya gangguan keseimbangan antara transmisi asetilkolin dan dopamine pusat. Obat antispikotik dengan efek samping gejala ekstrapiramidalnya sebagai berikut:

Obat-Obat Antipsikotik dan Efek Samping Gejala Ekstrapiramidalnya

Antipsikosis                          Dosis (mg/hr)                       Gejala Ekstrapiramidal
Chlorpromazine                   150-1600                                ++
Thioridazine                         100-900                                 +
Perphenazine                       8-48                                       +++
Trifluoperazine                     5-60                                       +++
Fluphenazine                       5-60                                        +++
Haloperidol                         2-100                                     ++++
Pimozide                             2-6                                         ++
Clozapine                           25-100                                    -
Zotepine                             75-100                                   +
Sulpride                              200-1600                               +
Risperidon                          2-9                                         +
Quetapine                           50-400                                   +
Olanzapine                         10-20                                      +
Aripiprazole                       10-20                                      +

Beberapa hal lain yang mempengaruhi kerja ekstrapiramidal:
·                  Ketidakseimbangan degeneratif
·                  Ketidakseimbangan metabolik
·                  Ketidakseimbangan  sistem endokrin dan eksokrin
·                  Inflamasi
·                  Racun
·                  Tumor atau SOL
·                  Anoxia

D. PATOFISIOLOGI

Umumnya semua neuroleptik menyebabkan beberapa derajat disfungsi ekstrapiramidal Beberapa neuroleptik  menginhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis. Penggunaan  beberapa neuroleptik tersebut menyebabkan gangguan transmisi di korpus striatum yang mengandung banyak reseptor D1 dan D2 dopamin sehingga menyebabkan depresi fungsi motorik yang bermanifestasi sebagai sindrom ekstrapiramidal. Beberapa neuroleptik tipikal (seperti haloperidol, fluphenazine) merupakan inhibitor dopamin ganglia basalis yang lebih poten, dan sebagai akibatnya menyebabka efek samping gejala ekstrapiramidal yang lebih menonjol.

E. MANIFESTASI  KLINIS

Gejala ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi distonia, tardive dyskinesia, akatisia, dan Sindrom Parkinson. 2 Namun ada beberapa sumber menyebutkan bahwa Sindrom Neuroleptik Maligna juga masuk ke dalam gangguan ekstrapiramidal.

§ Reaksi Distonia

Merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot skelet yang timbul beberapa menit dan dapat pula berlangsung lama, biasanya menyebabkan gerakan atau postur yang abnormal.

Kelompok otot yang paling sering terlibat adalah otot wajah, otot rahang (trismus, gaping, grimacing), leher (torticolis dan retrocolis), lidah (protrusion, memuntir) , seluruh otot tubuh (opistotonus) atau otot ekstraokuler (krisis okulogirik). Distonia juga dapat terjadi pada  glosofaringeal yang menyebabkan disartria, disfagia, kesulitan bernafas hingga sianosis bahkan kematian. Distonia juga dapat terjadi pada  otot diafragmatik yang membantu pernapasan sehingga sulit bernafas hingga sianosis bahkan kematian..

Spasme otot dan postur yang abnormal, umumnya yang dipengaruhi adalah otot-otot di daerah kepala dan leher tetapi terkadang juga daerah batang tubuh dan ekstremitas bawah.
Reaksi distonia akut sering terjadi dalam satu atau dua hari setelah pengobatan dimulai, tetapi dapat terjadi kapan saja.

Kriteria diagnostik dan riset untuk distonia akut akibat neuroleptik menurut DSM-IV adalah sebagai berikut:
1              Posisi abnormal atau spasme otot kepala, leher, anggota gerak, atau batang tubuh yang berkembang dalam beberapa hari setelah memulai atau menaikkan dosis medikasi neuroleptik (atau setelah menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati gejala ekstrapiramidal).

a.             Satu (atau lebih) tanda atau gejala berikut yang berkembang berhubungan dengan medikasi neuroleptik:
1. Posisi abnormal kepala dan leher dalam hubungannya dengan tubuh (misalnya tortikolis)
2. Spasme otot rahang (trismus, menganga, seringai)
3. Gangguan menelan (disfagia), bicara, atau bernafas (spasme laring-faring, disfonia)
4. Penebalan atau bicara cadel karena lidah hipertonik atau membesar (disartria, makroglosia)
5. Penonjolan lidah atau disfungsi lidah
6. Mata deviasi ke atas, ke bawah, ke arah samping (krisis okulorigik)
7. Posisi abnormal anggota gerak distal atau batang tubuh.

b.             Tanda atau gejala dalam kriteria A berkembang dalam tujuh hari setelah memulai atau dengan cepat menaikkan dosis medikasi neuroleptik, atau menurunkan medikasi yang digunakan untuk mengobati (atau mencegah) gejala ekstrapiramidal akut (misalnya obat antikolinergik).

c.             Gejala dalam kriteria A tidak diterangkan lebih baik oleh gangguan mental (misalnya gejala katatonik pada skizofrenia). Tanda-tanda bahwa gejala lebih baik diterangkan oleh gangguan mental dapat berupa berikut : gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik atau tidak sesuai dengan pola intervensi farmakologis (misalnya tidak ada perbaikan setelah menurunkan neuroleptik atau pemberian antikolinergik).

d.            Gejala dalam kriteria A bukan karena zat nonneuroleptik atau kondisi neurologis atau medis umum. Tanda-tanda bahwa gejala adalah karena kondisi medis umum dapat berupa berikut : gejala mendahului pemaparan dengan medikasi neuroleptik, terdapat tanda neurologis fokal yang tidak dapat diterangkan, atau gejala berkembang tanpa adanya perubahan medikasi.

§ Akatisia

Manifestasi berupa keadaan subjektif kegelisahan (restlessness) yang panjang,, gugup atau suatu keinginan untuk tetap bergerak umumnya kaki yang tidak bisa tenang, atau rasa gatal pada otot. Penderita dengan akatisia berat tidak mampu untuk duduk tenang, perasaannya menjadi cemas atau iritabel, agitasi, dan pemacuan yang nyata. Akatisia dapat menyebabkan eksaserbasi gejala psikotik yang memburuk akibat perasaan tidak nyaman yang ekstrim.

§ Sindrom Parkinson

Faktor risiko antipsikotik menginduksi parkinson adalah peningkatan usia, dosis obat, riwayat parkinson sebelumnya, dan kerusakan ganglia basalis.

Terdiri dari akinesia, tremor, dan bradikinesia. Akinesia meliputi wajah topeng, jedaan dari gerakan spontan, penurunan ayunan lengan saat berjalan, penurunan kedipan, dan penurunan mengunyah yang dapat menimbulkan pengeluaran air liur. Pada suatu bentuk yang lebih ringan, akinesia hanya terbukti sebagai suatu status perilaku dengan jeda bicara, penurunan spontanitas, apati dan kesukaran untuk memulai aktifitas normal, kesemuanya dapat dikelirukan dengan gejala skizofrenia negatif. Tremor dapat ditemukan pada saat istirahat dan dapat pula mengenai rahang. Gaya berjalan dengan langkah kecil dan menyeret kaki diakibatkan karena kekakuan otot.

§ Tardive Dyskinesia

Disebabkan oleh defisiensi kolinergik yang relatif akibat supersensitif reseptor dopamin di puntamen kaudatus. Merupakan manifestasi gerakan otot abnormal, involunter, menghentak, balistik, atau seperti tik mempengaruhi gaya berjalan, berbicara, bernafas, dan makan pasien dan kadang mengganggu. Faktor predisposisi dapat meliputi umur lanjut, jenis kelamin wanita, dan pengobatan berdosis tinggi atau jangka panjang. Gejala hilang dengan tidur, dapat hilang timbul dengan berjalannya waktu dan umumnya memburuk dengan penarikan neuroleptik. Diagnosis banding jika dipertimbangkan diskinesia tardive meliputi penyakit Hutington, Khorea Sindenham, diskinesia spontan, tik dan diskinesia yang ditimbulkan obat seperti Levodova, stimulant, dan lain-lain.

Gambar 2. Gerakan Involunter pada Tardive Dyskinesia

Perlu dicatat bahwa tardive diskinesia yang diduga disebabkan oleh kesupersensitivitasan reseptor dopamin pasca sinaptik akibat blockade kronik dapat ditemukan bersama dengan sindrom parkinson yang diduga disebabkan karena aktifitas dopaminergik yang tidak mencukupi. Pengenalan awal perlu karena kasus lanjut sulit diobati. Banyak terapi yang diajukan tetapi evaluasinya sulit karena perjalanan penyakit sangat beragam dan kadang-kadang terbatas. Diskinesia tardive dini atau ringan mudah terlewatkan dan beberapa merasa bahwa evaluasi sistemik, Skala Gerakan Involunter Abnormal (AIMS) harus dicatat setiap enam bulan untuk pasien yang mendapatkan pengobatan neuroleptik jangka panjang.

F. DIAGNOSIS

Diagnosa awal dilakkan dengan anamnesa pasien. Pemeriksaan yang dapat dilakukan di antaranya adalah pemeriksaan fisik pada umumnya yaitu tanda – tanda vital dan kondisi fisik seluruhnya. Dapat ditambah pemeriksaan neurologis.

Pemeriksaan laboratorium tergantung pada tampilan klinis. Pemeriksaan rutin elektrolit, pemeriksaan potassium, asam urat,  keratin kinase-MM , nitrogen dan  urea darah, kreatinin darah, glukosa darah, mioglobin  dan bikarbonat bermanfaat dalam menilai status hidrasi, fungsi ginjal, status asam basa, kerusakan otot dan hipoglikemi .

G. DIAGNOSIS BANDING

·         Sindroma putus obat
·         Parkinson Disease
·         Distonia primer
·         Tetanus
·         Gangguan gerak ekstrapiramidal primer
·         Penyakit Huntington,
·         Chorea Syndenham
·         Anxietas
·         gejala psikotik yang memburuk

H. PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan umum untuk sindrom ekstrapiramidal yakni :
Non-farmakologis :
·                  Menurunkan dosis antipsikotik hingga mencapai dosis minimal yang efektif

Farmakologis
·                  Pada pasien > 60 tahun diberikan L-dopa .Pemberian L-dopa 3-4x  1 hari dengan total dosis maksimal 600 mg/ hari diberikan 30 menit sebelum makan, contoh madopar, sinemet.

·                  Pada pasien muda diberikan da (dopamine antagonist)
Pemberian dopamine agonist , dibagi menjadi ergot da dan non-ergot da
Contoh ergot da:
ü   Bromocriptin dimulai dengan dosis 1,25 mg ditingkatkan sampai total maksimal 40mg/ hari terbagi dalam 3-5 dosis.
ü   pergolide mesylate dimulai dari 0,05 mg 0,05 mg tiap 4-7 hari sampai 2-4 mg / hari untuk 3x beri
ü   Piribedil  50 mg terbagi 5x/ hari
ü   Cabergoline , dostinex 0,5 mg setiap 2 hari
Contoh Non-ergot da
ü   Pramipexole, sifrol 1 mg dimulai dari 0,125 mg. Dosis umumnya 3-4,5 mg / hari
ü   Ropinirole, requip 2 mg, dimulai dari 0,25 mg. Dosis umumnya 3-9 mg/ hari

·                  Pemberian antihistamin seperti difenhidramine, sulfas atropine
·                  Pemberian antikolinergik seperti :
·                  trihexyphenidil ((THP), 4-6mg per hari selama 4-6 minggu. Setelah itu dosis diturunkan secara perlahan-lahan, yaitu 2 mg setiap minggu, untuk melihat apakah pasien telah mengembangkan suatu toleransi terhadap efek samping sindrom ekstrapiramidal ini.
·                  n-Methyl-D-Aspartate Receptor Inhibitor: amantadine dimulai dari 100 mg. Dosis umumnya 300-400 mg/ hari terbagi dalam 3-4 dosis
·                  enzyme inhibitor: Monoamine Oxidase Type B inhibitor MAO –B  contoh selegiline, selegos 5 mg, rasagiline sebagai neuroprotektor.
·                  COMT –I (Cathechol o Methyl Transferase Inhibitors) : entacapone, comtan 200mg dosis maksimal 1600 mg, tolcapone untuk menurunkan degradasi dopamine otak dan meningkatkan efek L-dopa.
·                  Pemberian epinefrin dan norepinefrin juga memberikan efek menurunkan konsentrasi antipsikotik dalam plasma sehingga absorbsi reseptor dopamin berkurang dan efek gejala ekstrapiramidal dari antipsikotik dapat berkurang.
·                  Bila reaksi distonia akut berat harus mendapatkan penanganan cepat dan agresif. Umumnya lebih praktis untuk memberikan difenhidramin 50 mg IM atau bila obat ini tidak tersedia gunakan benztropin 2 mg IM.
·                  Penatalaksanaan akatisia dengan memberikan anti kolinergik dan amanditin, dan pemberian proanolol dan benzodiazepine seperti klonazepam dan lorazepam.

I. PROGNOSIS

Prognosis pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang akut akan lebih baik bila gejala langsung dikenali dan ditanggulangi. Sedangkan prognosis pada pasien dengan sindrom ekstrapiramidal yang kronik lebih buruk, pasien dengan tardive distonia hingga distonia laring dapat menyebabkan kematian bila tidak diatasi dengan cepat. Sekali terkena, kondisi ini biasanya menetap pada pasien yang mendapat pengobatan neuroleptik selama lebih dari 10 tahun.

K. KOMPLIKASI

Gangguan gerak yang dialami penderita akan sangat mengganggu sehingga menurunkan kualitas penderita dalam beraktivitas dan gangguan gerak saat berjalan dapat menyebabkan penderita terjatuh dan mengalami fraktur.
Pada distonia laring dapat menyebabkan asfiksia dan kematian.
Medikasi anti-EPS mempunyai efek sampingnya sendiri yang dapat menyebabkan komplikasi yang buruk. Anti kolinergik umumnya menyebabkan mulut kering, penglihatan kabur, gangguan ingatan, konstipasi dan retensi urine. Amantadine dapat mengeksaserbasi gejala psikotik.


BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Sindrom ekstrapiramidal adalah suatu gejala atau reaksi yang ditimbulkan oleh penggunaan jangka pendek atau jangka panjang dari medikasi antipsikotik golongan tipikal karena terjadinya inhibisi transmisi dopaminergik di ganglia basalis.

Gejala ekstrapiramidal sering dibagi dalam beberapa kategori yaitu reaksi distonia, tardive dyskinesia, akatisia, dan Sindrom Parkinson. Namun ada beberapa sumber menyebutkan bahwa Sindrom Neuroleptik Maligna juga masuk ke dalam gangguan ekstrapiramidal.

Reaksi distonia merupakan spasme atau kontraksi involunter satu atau lebih otot skelet yang timbul beberapa menit dan dapat pula berlangsung lama, biasanya menyebabkan gerakan atau postur yang abnormal.

Akatisia merupakan keadaan subjektif kegelisahan (restlessness) yang panjang,, gugup atau suatu keinginan untuk tetap bergerak umumnya kaki yang tidak bisa tenang, atau rasa gatal pada otot.

Sindrom Parkinson merupakan kumpulan tanda – tanda berupa akinesia, tremor, dan bradikinesia.

Tardive dyskinesia merupakan manifestasi gerakan otot abnormal, involunter, menghentak, balistik, atau seperti tik mempengaruhi gaya berjalan, berbicara, bernafas, dan makan pasien dan kadang mengganggu.

Diagnosis awal dilakukan dengan anamnesa pasien. Pemeriksaan yang dapat dilakukan di antaranya adalah pemeriksaan fisik pada umumnya yaitu tanda – tanda vital dan kondisi fisik seluruhnya. Dapat ditambah pemeriksaan neurologis.

Pemeriksaan laboratorium tergantung pada tampilan klinis. Pemeriksaan rutin elektrolit, pemeriksaan potassium, asam urat,  keratin kinase-MM , nitrogendan  urea darah, kreatinin darah, glukosa darah, mioglobin  dan bikarbonat bermanfaat dalam menilai status hidrasi, fungsi ginjal, status asam basa, kerusakan otot .

Diagnosis banding : sindrom putus obat, parkinson disease, distonia primer, tetanus, gangguan gerak ekstrapiramidal primer, penyakit huntington, chorea syndenham, anxietas, dan gejala psikotik yang memburuk.

Gejala ekstrapiramidal dapat sangat menekan sehingga dianjurkan memberikan terapi profilaktik. Sindrom ekstrapiramidal ditangani dengan mulai menurunkan dosis antipsikotik, kemudian dilanjutkan dengan pemberian obat – obat seperti :L-dopa , dopamine antagonist, antihistamin, antikolinergik, n-Methyl-D-Aspartate Receptor Inhibitor, enzyme inhibitor : Monoamine Oxidase Type B inhibitor MAO – B, COMT –I (Cathechol o Methyl Transferase Inhibitors) , epinefrin atau norepinefrin .

Pengenalan gejala dengan cepat dan penatalaksanaan yang baik dapat memperbaiki prognosis. Namun penangan yang terlambat dapat memberikan komplikasi mulai dari gejala yang irreversibel hingga kematian

B. Saran

Pengenalan gejala dengan cepat dan penatalaksanaan yang baik dapat memperbaiki prognosis. Namun penanganan yang terlambat dapat memberikan komplikasi mulai dari gejala yang irreversibel hingga kematian


1 comment:

Hudans Book said...

mbak, boleh tau mbak ngambil referensi dari buku apa tentang ekstrapiramidal..... makasih mbak

Ingat :

Dilarang meniru tanpa ijin. :)